Semoga bermanfaat. Yang nggak bagus jangan ditiru, dan silahkan tegur.
"Manusiawi" Jadi Alasan Berbuat Maksiat?
"..'kan manusiawi..."Banyak kelalaian yang memang itu manusia.
Tapi, bukan berarti kemanusiaan menafikan wahyu.
Tetep aja, wahyu yang mengatur keputusan, bukan hawa nafsu.
Di sisi lain, memang iya sih... Wahyu tidak membuat manusia menafikan kemanusiaan seperti:
- bisa lapar
- ngantuk
- cinta
- euforia
- marah
- sedih
- dan lain sebaginya.
Itu semua tetep bisa didapatkan, tapi dengan ATURAN TERTENTU. Itu lah CIRI KHAS MUSLIM.
- Cinta? Bisa nikah. Tapi bukan zina.
- Duit? Bisa kerja atau jualan. Tapi bukan maling.
- Lapar? Bisa makan nasi. Tapi jangan babi.
- Sedih? Bisa tangisi maksiat-maksiat. Tapi bukan tangisi tan-tan. (Tan-tan itu apa? Tan-tan itu mantan & gebetan 😜 . No offense, ini contoh realita yang banyak aja)
- Marah? Bisa, tapi dala rangka membela Islam, kayak Umar. Bukan karena emosi jalanan macet.
Jangan kayak orang liberal. Kayak yang dikritik Alm KH Zainudin MZ itu lho.
"Di mana-mana, kayu ikut meteran. Kalau kayunya kepanjangan, kayu yang dipotong.
Tapi kalau kayunya kependekan, kok malah meteran yang dipotong, maka tidak ada meteran di dunia ini."
Islam itu dijadiin kayak gerbong kereta api terdepan. Yang lain ngikut gerbong terdepan aja mau lurus/kiri/kanan/berhenti/lanjutnya gimana InsyaAllah barokaah....
Bisa Jadi Anda Cuma "PUAS", Bukan "BAHAGIA"! Ini Bedanya
- Masuk PTN favorit
- Kelar skripsi
- Wisuda
- Punya penghasilan
- Nikah
- Punya anak
- Cicilan lunas
- Punya Rumah
- Punya mobil
- Makan makanan enak
- Beli barang baru lainnya.
Ini namanya KEPUASAN, bukan kebahagiaan.
Memang sih, wajib disyukuri, baru jadi bahagia.
Tapi, jangan asal-asal menafsirkan kata "syukur".
Kalau menurut Imam Ibnu Qayiim.
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).
Coba perhatikan, ada 3 poin penting di sini.
Atau, bentuk perbuatannya direduksi hanya sekadar "traktir makan".
Meski bukan berarti itu nggak bagus yaa. Bagus-bagus aja. Cuman, "traktir makan" itu bukan prioritas utama. Karena statusnya sunnah.
Setidaknya itu bagi kebanyakan orang.
Karena, sebetulnya yang lebih tepat bentuk "perbuatan" bukti syukur itu bukan sekadar traktir makan, tapi:
Yang wajib-wajib itu lebih prioritas.
Ini, bentuk syukur berupa taqwa yang barangkali kelewat.
Maka dari itu, tidak heran, banyak ulama yang menjelaskan definisi bahagia adalah, kurang-lebih, tatkala kita mendapatkan ridha Allah.
Sebagaimana misalnya, salah satunya, definisi bahagia menurut Syaikh Taqiyuddin anNabhani adalah: "Arti kebahagiaan dalam pandangan aqidah Islam adalah, mendapatkan ridha Allah Swt."
Nah, di siniah relevansinya antara:
Memang sih, wajib disyukuri, baru jadi bahagia.
Tapi, jangan asal-asal menafsirkan kata "syukur".
Kalau menurut Imam Ibnu Qayiim.
الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).
Coba perhatikan, ada 3 poin penting di sini.
- Dengan lisan.
- Dengan hati.
- Dengan perbuatan taqwa.
Atau, bentuk perbuatannya direduksi hanya sekadar "traktir makan".
Meski bukan berarti itu nggak bagus yaa. Bagus-bagus aja. Cuman, "traktir makan" itu bukan prioritas utama. Karena statusnya sunnah.
Setidaknya itu bagi kebanyakan orang.
Karena, sebetulnya yang lebih tepat bentuk "perbuatan" bukti syukur itu bukan sekadar traktir makan, tapi:
- Yang sholatnya masih bolong-bolong atau belum bagus, perbaikilah.
- Yang belum menutup aurat, tutuplah.
- Yang masih pacaran, putuslah atau menikah.
- Yang masih bertransaksi ribawi, hentikanlah.
- Yang masih malas belajar Islam, belajarlah.
- Dan sebagainya...
Yang wajib-wajib itu lebih prioritas.
Ini, bentuk syukur berupa taqwa yang barangkali kelewat.
Maka dari itu, tidak heran, banyak ulama yang menjelaskan definisi bahagia adalah, kurang-lebih, tatkala kita mendapatkan ridha Allah.
Sebagaimana misalnya, salah satunya, definisi bahagia menurut Syaikh Taqiyuddin anNabhani adalah: "Arti kebahagiaan dalam pandangan aqidah Islam adalah, mendapatkan ridha Allah Swt."
Nah, di siniah relevansinya antara:
- Bahagia
- Syukur
- Taqwa 🙂
Menilai Seseorang dari Akun Social Medianya?
Ada orang yang beranggapan, bahwa konten-konten di akun social media seseorang itu mencerminkan 100% dirinya.
Ada juga orang yang beranggapan, konten-konten di akun social media seseorang itu tidak mencerminkan dirinya yang sebenarnya. Nyaris 0%. Maka baiknya lihatlah fakta dirinya di dunia nyata.
Kalau pendapat saya pribadi, kedua pendapat tersebut bisa sama-sama benar 🙂, bisa juga sama-sama kurang tepat. 😅
Jika kita perhatikan fakta kenalan-kenalan kita, maka ada beberapa macam faktanya:
- Ada orang yang memang betul konten-kontennya di akun social medianya itu mencerminkan 100% dirinya di dunia nyata.
- Ada orang yang memang betul ternyata dirinya di dunia nyata malah justru nyaris 100% berbeda dengan konten-konten di akun social medianya. Terkesan justru sebaliknya. Sarat akan 'pencitraan'.
- Ada orang yang memang konten-konten di akun social medianya mencerminkan 50% dirinya di dunia nyata. Tapi ternyata ada hal-hal di dunia nyata yang tidak tergambarkan di akun social medianya. Atau ada juga kasus ternyata justru sebagian hal-hal di dunia nyata yang bertentangan dengan konten-konten di akun social medianya.
- Ada yang agak mirip seperti di atas jenisnya, tapi akun social medianya lumayan mencerminkan 70% dari fakta dirinya di dunia nyata. Tapi ternyata kita baru tahu ada sedikit sih sekitar 30% hal-hal pada dirinya di dunia nyata yang tak tergambar di akun social medianya.
- Ada juga yang agak mirip seperti di atas jenisnya, tapi akun social medianya hanya mencerminkan sekitar 25%-30% saja dari fakta dirinya di dunia nyata. Hanya sedikit tergambar, tapi ternyata banyak sekitar 65%-70% hal-hal di dunia nyatanya tidak tergambar di akun social medianya.
Jadi, saya pribadi berpendapat, kalau mau menilai seseorang, baiknya lihat keduanya. 🙂
- Lihat akun social media, iya.
- Lihat faktanya, iya juga.
Begitu, kesimpulannya.
- Baiknya jangan hanya lihat akun social medianya saja.
- Dan lebih bagus lagi jangan lihat fakta dirinya saja.Karena bisa saja ada fakta di dunia nyata yang belum terlihat di dunia nyata, tapi fakta itu 'terrekam' di social media.
Seperti misalnya kebetulan di dunia nyata mungkin kita belum mengetahui bahwa dia suka warna tertentu, suka makan makanan tertentu, (sedikit/banyak, minimal minat) bisa bahasa tertentu, berasal dari daerah tertentu; tetapi di social media ternyata fakta tersebut bisa kita ketahui.
Saya memilih untuk tidak menggeneralisir "Pokoknya lihat social medianya saja!", atau "Pokoknya lihat di dunia nyata saja!".
Karena memang faktanya ada banyak macam-macam orang, sebagaimana yang saya sebutkan di point awal-awal paragraf sebelumnya. 🙂
Btw, ini pembahasan buat apa...?
Yah buat apa aja sih, macem-macem.. 😁- Menilai seorang tokoh atau aktivis. Termasuk tokoh politik. Pejabat maupun calon pejabat.
- Menilai calon jodoh
- Menilai teman
- Menilai calon pegawai
- Menilai calon partner tim
- Meriset behavior target suatu market
- Dan sebagainya
Terserah Anda, asal memang itu penting. 😄
Tapi jangan disalahgunakan yaa. Jangan buat suudzon, ghibah, dan sebagainya. 😬
Jangan juga sekadar kepo tanpa kepentingan. Buang-buang waktu jadinya. 😌
Well, that's it.
Kalau Anda rasa pendapat saya ini bagus, silahkan boleh Anda ikuti. Kalau tidak mau, tidak apa-apa. Barangkali Anda ada pendapat lain? Boleh Anda parparkan di kotak komentar. Bisa aja ternyata lebih mencerahkan. 🙂
Dakwahlah Tentang Tauhid, Ibadah, Akhlak, & Muamalah. Kenapa Harus Didikotomi?
Ilustrasi tentang dakwah, via: https://www.instagram.com/yukngajiid/ |
Melainkan karena sekadar melakukan "hal-hal kurang kerjaan" 😖 , yang sebenarnya kalau "hal-hal tersebut" tidak dilakukan, maka tidak akan menimbulkan masalah. 😅
Termasuk salah satunya, ada oknum yang suka membantah-bantah bahwa, "Bila kita ingin berdakwah itu, dakwahlah tentang aqidah dan tauhid! Bukan dakwah tentang ekonomi, bukan tentang politik, dan sebagainya!".
Padahal, dakwah itu yah tentang apapun persoalan di dalam Islam.
Ajaran Islam itu harus diamalkan secara kaffah (totalitas), dan semuanya harus didakwahkan.
- Bukan untuk dipilah-pilih bahas tauhid doang tapi nggak mau bahas sholat.
- Tidak bisa bahas sholat oke, tapi bahas zakat no way.
- Tidak bisa bahas sabar oke, tapi bahas kewajiban mencari nafkah no way.
- Tidak bisa bahas istighfar oke, tapi bahas hijrah no way.
- Tidak bisa bahas mengimani hidayah itu berasal dari Allah, oke. Tapi diajak berdakwah mengajak orang kepada Allah, no way.
Ntah kenapa, keanehan mendikotomi-dikotomi hal-hal yang seharusnya bersamaan begini menjadi trend zaman ini. 😞
Bahkan bukan hanya persoalan Islam, tapi juga persoalan lain, seperti misalnya:
Bahkan bukan hanya persoalan Islam, tapi juga persoalan lain, seperti misalnya:
- "Percuma pakaian rapih, tapi badan bau!!", kemudian yang ditangkap orang adalah, "Oh yaudah kalau gitu mending saya wangi aja tapi nggak usah rapih."
- "Percuma produknya enak, tapi kalau marketing-nya minim, yah susah dapat sales!", kemudian yang ditangkap orang adalah, "Oh yaudah kalau gitu mending saya fokus di marketing, biar produknya asal-asal aja nggak apa-apa."
- Dan lain sebagainya.
Padahal...
- Yah jadilah rapih dan wangi. Kenapa harus didikotomi?
- Yah buatlah produknya enak dan optimalkan marketing-nya. Kenapa harus didikotomi?
- Yah dakwahlah tentang tauhid, tentang ibadah, tentang akhlak, dan tentang muamalah. Kenapa harus didikotomi?
Aneh kan? 🤔
Sehingga, saya tidak mengerti, bagaimana bisa ada oknum yang mengatakan "Bila kita ingin berdakwah itu, dakwahlah tentang aqidah dan tauhid! Bukan ekonomi, bukan politik, dan sebagainya!"
Hmmm....
Tapi kita harus berhunudzon terlebih dahulu. 🙂 Makanya saya sebut orang tersebut hanyalah oknum saja. 😅
Karena, sebenarnya pertanyaannya tersebut tidak sepenuhnya salah. Malahan bisa jadi bener banget, saya setuju banget. 😁 Namun, terkadang ada oknum yang barangkali kurang tepat merangkai kata-katanya.
- Kalau konteks pembahasannya soal mendikotomi ajaran Islam, itu salah. 😏
- Tapi kalau konteks pembahasannya soal prioritas, itu benar. 😊
Kalau maksudnya "Dakwah tauhid, bukan dakwah muamalah" itu adalah dakwah tauhid merupakan prioritas awal, itu jelas bener banget.
Yaps, itu tidak ada perbedaan. Jelas tauhid dulu.
Bahkan saya pribadi insyaAllah berhasil berubah meninggalkan beberapa maksiat, setelah mendapatkan dakwah tauhid. 🙂
Padahal, sebelumnya sudah banyak sekali yang mengingatkan saya tentang kemaksiatan itu. Banyak banget malah. Berkali-kali. Tapi saya tetep tidak mau meninggalkan maksiat-maksiat saya...
Kemudian bahkan dalam hitungan tahun alhamdulillah, saya baru bisa meninggalkan maksiat-maksiat saya, setelah mendapatkan dakwah tauhid.
Dan saya pikir bukan cuma saya saja, yang lain juga banyak begitu. 😀
Ilustrasi kaligrafi tauhid, via: http://www.shop.teknikhidup.com/ |
Tapi kalau mengatakan "Dakwah tauhid, bukan dakwah muamalah" pada faktanya bertahun-tahun dakwah tauhid melulu (bahkan 10-20 tahun lebih), tak kunjung membahas muamalah seperti politik; kayaknya ada yang aneh tuh
Nah yang ini saya khawatir.. 😞
Khawatirnya termasuk kemaruk mendikotomi seperti halnya yang dibahas di atas tadi. Topik aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah; seharusnya berpasangan, tapi kok terkesan seperti mendikotomi.
Kenapa terkesan mendikotomi, indikasinya:
- Awalnya membahas topik A. Kemudian terus berlanjut hingga bertahun-tahun, bahkan 10 tahun, bahkan 20 tahun, dan terus berlanjut. Tapi B dan C nggak kebahas... Kirain membahas A dulu, karena memang harus itu prioritas awalnya. Tapi eh kok malah A A melulu. Giliran mau membahas B, kok dibilang nggak usah? 😧
- Dan yang bikin lebih aneh lagi, oknum yang melarang jangan membahas politik, ternyata oknum tersebut cukup mesra dengan penguasa. Terkesan seperti 'alat penguasa'. 😱
Bahkan tatkala penguasa sudah melakukan kemaksiatan terang-terangan, yang semua orang (kecuali mereka) jelas tidak ridha dengan penguasa, tapi oknum itu sendiri doang yang melarang jangan mengkritik penguasa. 😱
Giliran orang lain yang melakukan kemaksiatan yang sama seperti yang dilakukan penguasa bahkan lebih parah, si oknum mengkritik orang lain itu habis-habisan, tapi tetep aja kalau penguasanya nggak pernah dikritik. 🙄
Janggal kan? 😂
Jadi, kesimpulannya; amalkan dan dakwahkanlah ajaran Islam A to Z. Tentang tauhid, tentang ibadah, tentang akhlak, dan tentang muamalah. Kaaffah...
Ilustrasi cakupan syariat Islam, via: https://www.slideshare.net/MushabAbdurrahman/ |
Nah, begitulah... 😊
Clear ya?
Sudah jelas ya?
Alhamdulillah kalau begitu... 😄
Awas nanti kalau masih ada lagi yang main bantah-batahan "Iya tapi kan tauhid dulu! Tauhid dulu! Baru yang lain! Dakwah tauhid dulu! Bukan politik! Bukan ekonomi! Dulu Rasul dan para Nabi itu dakwah tauhid dulu! Bukan politik!". 😓
Ah sudahlah saya capek muter-muter dari awal lagi bahasnya, hehehe... 😅
Sepertinya kita ini, terutama saya; perlu lebih menjaga asupan makanan-minuman serta rutin berolahraga. Biar insyaaAllah tubuh sehat, dan ingatannya bagus, nggak mudah lupa... 😂
Ilustrasi dakwah Rasulullah, via: http://designerperadaban.blogspot.co.id/ |
Terakhir, sebagai penutup...
yang jelas, di akhirat nanti, kita akan dimintai pertanggungjawaban terkait keimanan kita dan ketaqwaan kita. Apa-apa yang Allah perintahkan, dan apa-apa yang Allah larang; semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Semuanyaaaaa... 😂
Bukan cuman soal tauhid doang.
- Soal tauhid, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal sholat, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal puasa, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal berkata jujur dan tidak berkata bohong, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal menghormati orang tua, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal bersikap lemah lembut pada sesama, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal cara mendapatkan harta, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal cara membelanjakan dan mengembangkan harta, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal berinteraksi dengan lawan jenis, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal mengangkat seorang pemimpin umat muslim untuk memerintah dengan hukum Islam, nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal pengaturan APBN menurut hukum syara', nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
- Soal melegalisasi sistem sanksi dan pembuktian di Peradilan menurut hukum syara', nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْىٌ فِى الْحَيَوٰةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللّٰـهُ بِغٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَApakah kamu beriman kepada sebahagian Kitab itu dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.
[QS. Al-Baqarah: 85]
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ادْخُلُوا۟ فِى السِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌHai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
[QS. Al-Baqarah: 208]
Kenapa Kok Bawaannya Malas Banget Ya Sholat Berjamaah di Masjid?
"Ntah kenapa aku kok kayak pusing gitu susah kalau jalan sholat ke Masjid..." begitu kurang-lebih kata salah seorang teman diskusi kami saat sedang membahas keutamaan sholat berjamaah di Masjid.
Ah, ngeles. Sebenarnya malas aja ya kan. 😛
Sulit mengatakan bahwa sholat berjamaah ke Masjid termasuk salah satu penyebab kepala pusing. 😜
Yang ada itu penyebab kepala pusing kalau peredaran darah tidak lancar, demam, dehidrasi, stress, dan lain sebagainya.😋
Kecuali kalau dia ada memiliki semacam phobia gitu. Meski sepertinya hal tersebut amat sangat jarang atau bahkan nyaris nggak ada deh.
Sebenarnya, itu cuma soal pilihan aja: Mau sholat berjamaah Masjid atau sholat sendirian di Rumah itu bisa kita pilih kok.
Nggak ada ceritanya saat kita mau jalan ke Masjid, tiba-tiba kaki kita seperti bergerak sendiri.
Misalnya saat kita jalan ke Masjid, tiba-tiba kita tak bisa mengendalikan kaki kita, "Eh?! Aduh, kenapa ini?! Kok kakiku nggak bisa aku gerakkan? Loh loh kenapa ini kok kakiku bergerak sendiri malah jalan ke Diskotik?!! Aduh kenapa ini kok bisa begini..??!!"
Nggak ada pula ceritanya saat seseorang mau jalan ke Diskotik, tiba-tiba kakinya seperti bergerak sendiri.
Tiba-tiba kakinya berjalan sendiri, "Eh?! Aduh kenapa ini?! Kok kakiku jalan sendiri?!!" Loh loh kenapa malah jadinya pergi ke jalan kanan..??! Aduh toloong toloong aku terpaksa jalan ke Masjid nih kayaknya!!"
Ilustrasi via: https://giphy.com/
Hehehe! 😂 Nggak ada ceritanya begitu kan? 😆
Sejatinya, kita bebas bisa pilih mau ngapain.
- Nanti setelah ini Anda mau ngapain, bisa Anda pilih.
- Setelah ini mau makan apa, bebas memilih juga.
- Mau main-main atau mau baca buku, bebas memilih juga.
- Saat masalah menimpa kita, kita bebas mau memilih respon kita bagaimana.
Nggak ada yang maksa kan?
Ilustrasi via: http://www.shop.teknikhidup.com/ |
Yang nggak kita pilih, nggak akan dimintai pertanggungjawaban. Seperti misalnya beberapa hal di luar lingkaran yang dikuasai manusia:
- Saya terlahir di Medan.
- Saya terlahir sebagai laki-laki.
- Saya terlahir tahun 1994.
- Saya bisa berkeringat.
- Saya tertabrak sepeda.
- Saya terikat gaya gravitasi bumi.
- Saya merasa panas bila langsung menyentuh api.
Biasanya, yang "me-" itu yang akan dimintai pertanggungjawaban. Sedangkan yang "ter-" itu tak dimintai pertanggungjawaban. Biasanya sih ya, bukan pasti. Intinya, yang bisa kita pilih, itu yang dimintai pertanggungjawaban. Yang nggak bisa kita pilih, itu yang tak dimintai pertanggungjawaban.
Nah, jadi, termasuk soal sholat itu pula. Mau sholat apa nggak? Mau sholat berjamaah di Masjid atau sendiri di Rumah?
Nggak ada yang maksa tiba-tiba ntah kenapa jadi nggak bisa:
- Nggak ada ceritanya kalau pilih salah satu tiba-tiba jadi pusing dan auto-tidur.
- Nggak ada ceritanya kalau pilih salah satu tiba-tiba otomatis jadi copot kakinya.
Sejatinya, bebas saja memilih. 😄
- Mau sholat bisa dipilih.
- Mau nggak usah sholat juga bisa dipilih.
- Mau sholat berjamaah di Masjid bisa dipilih.
- Mau sholat sendirian di Rumah bisa dipilih.
Pilih aja. 😊
Featured image llustration via https://pixabay.com/
Featured image llustration via https://pixabay.com/
Berdebat Itu Boleh, Tapi 'Sayangnya' Zaman Sekarang yang Layak Berdebat Itu Tidak Banyak
Anda pasti pernah berjumpa dengan seseorang yang memiliki perbedaan pendapat dengan Anda, kemudian Anda berdebat dengan dia?
Atau mungkin, bukan berdebat, tapi sekadar berdiskusi?
Atau mungkin sih juga bukan diskusi, tapi hanya sekadar ngobrol-ngobrol saja?
Apapun istilah yang digunakan, saya pernah seperti itu. Menjelaskan apa pendapat saya, dan meminta penjalasan pendapat seseorang. Sehingga 'bertemu' 2 pendapat yang berbeda. Dan saya kira semua orang juga sudah biasa seperti itu.
Namun, terkadang, ada beberapa orang yang menghindari hal demikian. Mereka mengatakan, itu namanya debat. Debat itu tidak boleh.
Mereka mengatakan hal demikian, karena ada beberapa alasan. Lebih baik lagi kalau dibahas case-by-case. Tapi kalau yang sehemat pengalaman saya dan seingat saya sih, ada 2 alasan:
- Berdebat itu mengeraskan hati.
- Berdebat itu memang tidak boleh, dasarnya adalah hadits أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا , yang kurang-lebih terjemahannya “Aku menjamin sebuah rumah di pinggir jannah (surga) bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran (al haq)." [HR. Abu Dawud]
Mari kita bahas satu per satu... 😊
Debat itu mengeraskan hati?
Frasa "mengeraskan hati" tersebut merupakan frasa majas (kiasan).
Bukan frasa hakiki dari kata "hati" dalam artian liver/lever atau organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut.
Makna "mengeraskan" di situ juga merupakan makna majas (kiasan), bukan makna hakiki dalam artian padat kuat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah.
Sehingga, sebenarnya kita perlu bertanya lagi terhadap orang yang demikian, sesungguhnya maksud "mengeraskan hati" itu seperti apa ya? Contoh praktek faktanya bagaimana kah? 😅
CMIIW, sehemat yang saya pahami, penisbatan "hati yang keras" tidak umum kepada pokoknya siapa saja yang sedang berbedat. Melainkan dinisbatkan khusus pada jenis pendebat dan perdebatan tertentu. Yakni mendebatkan hal-hal yang sudah pasti baik dan benar. Misalnya:
- Seorang muslim yang mendebat wajibnya sholat fardhu yang 5 waktu.
- Seorang muslim yang mendebat wajibnya menurut aurat.
- Seorang muslim yang mendebat wajibnya menta'ati segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa-apa yang dilarangNya.
- Dan sebagainya.
Hal-hal yang sudah jelas seperti itu, seharusnya diterapkan dan disebarkan saja. Jangan didebat.
Misalnya, ambil salah satu contoh. Ada dibahas di surat al-Baqarah ayat ke-74.
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً“Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.”[QS. Al-Baqarah:74]
Menurut tafsir Imam Ibnu Katsir, pada ayat tersebut Allah Swt. mencemoohkan Bani Israil dan memberikan peringatan peringatan kepada mereka melalui tanda-tanda kebesaran Allah Swt.
Karena itulah Allah Swt. melarang kaum mukmin berperi laku seperti mereka, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang alas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”[TQS. Al-Hadiid: 16]
Jadi, argumen teman-teman kita yang mengatakan debat itu tidak boleh karena mengeraskan hati, sebenarnya bisa jadi ada benarnya juga, bisa jadi kurang tepat. Haruslah kita amati dulu seperti apa pendebatnya dan perdebatannya. 🙂 Kalau mendebatkan hal-hal yang sudah jelas baik dan benar, maka benar perdebatan tersebut harus dihindari.
Tapi, ada juga nanti perdebatan yang boleh.
Berdebat itu tidak boleh? Tergantung....
Maksud "tidak boleh" di sini sebenarnya juga harus diminta penjelasan lebih. 🤔 Apakah yang dimaksud "tidak boleh" di situ adalah "haram"? 🤔 Yakni apabila dikerjakan berdosa, sedangkan bila ditinggalkan maka berpahala? 🤔
Jika memang demikian, saya kira untuk menghasilkan kesimpulan tersebut, perlu ada penjelasan syar'inya.
Misalnya kalau itu merupakan ijtihad, tentu yang nama ijtihad itu perlu kesungguhan dalam menggali hukum hingga benar-benar 'mentok'. Termasuk salah satu bentuk kesungguhan adalah, mengumpulkan semua dalil-dalil yang membahas satu persoalan.
Tidak dapat dikatakan ijtihad bila hanya mengutip satu hadits saja, sembari tidak menyentuh sedikit pun dalil-dalil yang lain, kemudian langsung muncul satu hukum.
Apalagi cuma baca terjemahan bahasa Indonesia doang. 😅
Tidak dapat dikatakan ijtihad bila hanya mengutip satu hadits saja, sembari tidak menyentuh sedikit pun dalil-dalil yang lain, kemudian langsung muncul satu hukum.
Apalagi cuma baca terjemahan bahasa Indonesia doang. 😅
Soalnya, justru ada ayat al-Qur'an yang memerintahkan kita berdebat.
Dan memang faktanya Rasulullah Saw. dan para sahabat ra. pernah melakukan debat. Seperti misalnya membantah argumen orang-orang kafir dan munafiq yang bertentangan dengan Islam.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik.”[QS. An-Nahl: 125]
Jadi, debat itu ada yang boleh dan ada yang tidak boleh.
Yang saya pahami, debat yang boleh itu adalah mendebat kekufuran, kemaksiatan, dan sebagainya.
Misalnya saat kita menjelaskan ajaran Islam, kita mendapati "halangan". Ada orang-orang liberal yang menolak ajaran Islam tersebut. Mereka beralasan dengan alasan-alasan yang bathil.
Misalnya menggunakan isme-isme yang tidak lahir dari Islam, sehingga mereka memiliki keyakinan bahwa sholat fardhu 5 waktu itu tidak wajib, menggunakan kerudung itu tidak wajib bagi muslimah, LGBT boleh, dan sebagainya.
Misalnya menggunakan isme-isme yang tidak lahir dari Islam, sehingga mereka memiliki keyakinan bahwa sholat fardhu 5 waktu itu tidak wajib, menggunakan kerudung itu tidak wajib bagi muslimah, LGBT boleh, dan sebagainya.
Maka, pendapat-pendapat mereka harus ditunjukkan kekeliruannya. Kemudian, kita tunjukkan argumen yang tepatnya.
Kalau ibaratnya tembok, kita meruntuhkan tembok hitam mereka (pendapat bathil mereka). Kemudian, setelah itu, kita bangun tembok baru yang putih (pendapat yang tepat).
Fokus di situ saja. Fokus di argumen.
Nah, setidaknya begitulah, pembahasannya secara normatif.
Jadi, debat yang tidak boleh adalah:
- Mendebat perkara-perkara yang sudah jelas haq.
- Mengalihkan topik pembicaraan yang seharusnya fokus membicarakan sebuah pendapat dan argumennya, malah menjadi main ejek-ejekan orangnya. 😏 Seperti misalnya, "Dasar botak", "Dasar perut buncit", "Halah kamu cuma lulusan S1", "Halah kamu hutangmu banyak belum lunas", "Halah dulu kamu pas Sekolah suka datang terlambat." dan sebagainya. 😓
- Asal berpendapat tanpa ada pijakan argumentasi yang syar'i. 😓
Biasanya hal tesebut disebut dengan istilah "debat kusir". 😓
Sayangnya, hari ini banyak orang yang tidak layak berdebat tapi melakukan praktek debat
Dari penjabaran di atas, saya mengambil kesimpulan debat itu bisa jadi boleh pada perkara tertentu. Namun, meski begitu, pada prakteknya, saya akan sangat jarang berdebat.
Kenapa?
Karena, banyak orang yang tidak mengerti adab-adab berdebat. Mereka tidak layak melakukan debat.
Seperti misalnya:
- Sebagaimana yang disebutkan di atas, mereka bukannya fokus membahas sebuah persoalan, tapi malah mengalihkan topik pembicaraan menjadi mengejek individu.
- Bukannya menjelaskan dasar argumentasinya yang lebih kuat seperti apa, serta kesalahan argumentasi kita apa dan di mana; tapi malah hanya mengatakan "Pokoknya yah begitu!", "Yang penting yah harus seperti itu!", "Ini sudah final dari dulu harga mati!", "Kalau nggak suka yaudah sana pergi aja dari negara ini!".
Yang kayak begini saya banyak ketemu. Apalagi di social media, wah banyak banget malah.
Kalau Anda, bagaimana? Sering juga kah? Banyak kah?
Yah, memang banyak.
Maka dari itu, pada prakteknya, di zaman sekarang seperti ini yang krisis literasi dan adab, normalnya kita akan jarang berdebat.
Sehingga, bila saya berhadapan dengan orang-orang pandir yang tak layak berdebat tersebut, saya tidak mau meladeninya. Meskipun sudah jelas dia salah, dan saya benar. Lebih baik saya tinggalkan.
Memang nggak produktif berdebat dengan mereka. Buang-buang waktu saja.
Tapi jangan lupakan "ud'u ila sabili rabbika bil hikmah" dan "mauidzotul hasanah"
Nah, meskipun begitu, tapi jangan lupa. Pada surat An-Nahl ayat 125 tersebut, sebelum "jadilhum billati hiya ahsan", kan ada juga "ud'u ila sabili rabbika bil hikmah" dan "mauidzotul hasanah".
Jadi, meskipun memang debat itu boleh, tapi bukan berarti setiap hari kerjaan kita berdebat melulu. Berdebat itu bila diperlukan saja.
Contohnya sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas. Kalau tidak perlu berdebat, yah tidak usah berdebat.
Contohnya sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas. Kalau tidak perlu berdebat, yah tidak usah berdebat.
Bila cukup dengan penjelasan-penjelasan saja, yang targetnya adalah membuat teman bicara kita menjadi paham; yah alhamdulillah nggak mesti ada debat-debatan.
Kita tidak perlu memaksa dia harus melakukan ini-itu, dan melarangnya melakukan ini-itu. Yang penting adalah membuat dia paham pada apa yang kita jelaskan saja.
Kalau dia paham bahwa penjelasan kita itu bagus, baik, benar; maka dengan sendirinya dia akan inisiatif dan senang hati mengadopsi penjelasan kita.. 🙂
Atau kalau ternyata penjelasan dia yang juga bagus, baik, benar; yaudah kita aja yang ngikutin pendapat dia pun juga nggak apa-apa. Justru bagus malah. 🙂
Ilustrasi via: http://maxpixel.freegreatpicture.com/
Kalau dia paham bahwa penjelasan kita itu bagus, baik, benar; maka dengan sendirinya dia akan inisiatif dan senang hati mengadopsi penjelasan kita.. 🙂
Atau kalau ternyata penjelasan dia yang juga bagus, baik, benar; yaudah kita aja yang ngikutin pendapat dia pun juga nggak apa-apa. Justru bagus malah. 🙂
Ilustrasi via: http://maxpixel.freegreatpicture.com/
Saya InsyaAllah Nggak Lupa dengan Seseorang, Paling Lupa Namanya 😂
Belakangan ada beberapa teman saya yang nge-chat ke saya, "Dan, masih ingat aku?", "Dan, masih ingat saya?", dan sebagainya.
Alhamdulillah saya masih ingat lah. Nggak lupa.
Yang satu itu teman SD saya.
Yang satunya lagi teman sekontrakan saya waktu di Bandung.
Belakangan juga ada sebuah postingan meme saat hari guru kemarin, "Masih ingat siapa nama guru waktu SD-mu?"
Nah, kalau itu saya sudah lupa. 😅 Maaf Buk.... 😖
Tapi kalau ingat-ingat wajahnya dan beberapa pengalamanya, saya tentu masih ingat. Ingat banget malah. Masih ingat juga mata pelajaran yang beliau-beliau ajarkan.
Jangankan pas SD, guru TK saja saya juga masih ingat. Tapi yah itu, namanya lupa... 😖
Maka sebenarnya, saya itu insyaAllah nggak lupa dengan seseorang. Paling lupa namanya aja. 😂
Alhamdulillah saya masih ingat lah. Nggak lupa.
Yang satu itu teman SD saya.
Yang satunya lagi teman sekontrakan saya waktu di Bandung.
Belakangan juga ada sebuah postingan meme saat hari guru kemarin, "Masih ingat siapa nama guru waktu SD-mu?"
Nah, kalau itu saya sudah lupa. 😅 Maaf Buk.... 😖
Tapi kalau ingat-ingat wajahnya dan beberapa pengalamanya, saya tentu masih ingat. Ingat banget malah. Masih ingat juga mata pelajaran yang beliau-beliau ajarkan.
Jangankan pas SD, guru TK saja saya juga masih ingat. Tapi yah itu, namanya lupa... 😖
Maka sebenarnya, saya itu insyaAllah nggak lupa dengan seseorang. Paling lupa namanya aja. 😂
- Sama abang-abang yang kerja di percetakan tertentu saat di Aceh dulu itu saja, saya ingat. Yang kampungnya di Tebing Tinggi itu. Tapi saya lupa namanya siapa abang itu. 😂
- Sama akang pantry dapur di tempat magang di Bandung dulu, saya ingat orangnya. Obrolannya juga masih ingat. Meski udah lupa namanya. 😂
- Bahkan sama orang-orang yang walaupun nggak kenal tapi sering lihat di lingkungan sekitar Rumah, Sekolah, Kampus, dll; saya tanda orangnya. Kadang kalau nggak sengaja bertemu di socmed atau di jalan, misalnya di Pasar, saya tanda:
- "Ooh itu kan bapak yang jual Pop Ice di depan warung Bakso itu!",
- "Ooh itu kan kakek-kakek yang sholatnya selalu di sudut kanan itu!",
- "Ooh ini kan Ustadz yang pernah jadi moderator pas HSA di Jakarta waktu itu!".
- Dan lain-lainnya.
Kok bisa gitu? Ntah lah... mungkin itu pembahasannya neuroscience? Saya belum mendalaminya.
Kalau menurut tes stifin sih, saya termasuk orang intuiting. Mudah lupa. Termasuk lupa nama orang.
Jadi, nggak usah khawatir. InsyaAllah saya selalu ingat dengan semua orang yang pernah saya lihat. Meski nggak ingat namanya. Atau bahkan nggak tahu. Saya mohon maaf kalau tersinggung... 😂
Kalau menurut tes stifin sih, saya termasuk orang intuiting. Mudah lupa. Termasuk lupa nama orang.
Jadi, nggak usah khawatir. InsyaAllah saya selalu ingat dengan semua orang yang pernah saya lihat. Meski nggak ingat namanya. Atau bahkan nggak tahu. Saya mohon maaf kalau tersinggung... 😂
Silahkan Diskusi dengan Argumentasi, Jangan Sekadar Ejek-Ejekan
Yang namanya perbedaan pendapat itu biasa. Apalagi persoalan politik dan agama.
Maka, kalau kita bertemu dengan seseorang yang berbeda pandangan politiknya dengan orang lain; yah silahkan saja 'duduk bareng' diskusi memaparkan pandangan masing-masing.
Barangkali bisa sekadar berbagi insight, tanpa harus memaksa lawan bicara untuk mengadopsi 100% pendapat kita.
Gitu aja..
Tidak perlu capek-capek maksa, bisa saja orang lain akan mengikuti kita; bila memang argumentasi kita kuat, data yang kita pegang akurat, bahkan dalilnya shahih, serta proses penggodokan dalilnya juga cemerlang.
Kalau seperti itu, normalnya justru orang akan dengan senang hati mengubah pandangannya. Nggak perlu dipaksa, dia akan dengan tulus ikhlas mengubahnya, jadi ngikuti kita.
Namun....
Namun, sayangnya, tidak sedikit ada orang yang membahas politik dan agama, tetapi saat dia menghadapi orang lain yang berbeda pendapat dengannya hingga ia tidak setuju; maka dia mencela orang lain tersebut. Minim bahkan minus argumentasi.
Bahkan malah membahas hal-hal yang di luar topik diskusi.
Seperti misalnya:
- "Halah kamu cuma lulusan S1!"
- "Halah kamu aja nggak lancar baca Kitab Kuning!"
- "Ah kamu aja kalau datang janjian suka telat 15 menit!"
- "Ah kamu kepalanya botak!"
- "Ah kamu perutmu buncit!"
- "Wajahmu mirip monyet!"
- dan lain-lain sebagainya.
Hehehee... 🙂
Sayang aja sih...
Bukan apa-apa, saya pikir saya pribadi merasa enak sekiranya ada hal-hal yang selama ini saya yakini salah atau kurang tepat; kemudian ada alternatif lainnya yang lebih tepat bahkan yang benar. Implikasinya hidup saya jadi lebih enak. 🙂
Dan alhamdulillah sekiranya argumentasi yang lebih kuat kita diterima oleh orang lain, implikasinya bisa jadi 'investasi' pahala jariyah kan. 🙂
Terakhir... saya ingin berbagi nasehat, yang semoga dengan nasehat ini kita akan senantiasa berdiskusi pakai argumentasi, tidak pakai ejek-ejekan.
Saya jadi teringat dengan salah satu nasehat Ustadz Ismail Yusanto. Nasehat ini merupakan satu nasehat yang paling saya ingat.
Kurang-lebih beliau mengatakan:
Ilustrasi: Pixabay.com“Yang penting orang itu paham. Soal setuju atau nggak setuju itu bisa jadi soal waktu. Bisa saja seseorang paham tapi tidak setuju, kemudian lamban laut nanti berubah jadi setuju. Yang penting dia paham.”
Nggak Usah Capek-Capek Dakwah, Tungguin Imam Mahdi Turun Saja Mengatasi Berbagai Kemunkaran?
Ilustrasi via Instagram @CintaBenderaIslam |
Kemudian ketika ada orang lain yang mengajak berdakwah untuk mengajak mengatasi kemungkaran-kemunkarang tersebut, dia tidak mau. Karena keyakinannya itu semua nanti diatasi oleh Imam Mahdi. Apalagi katanya cukup berdo'a saja.
Hmmm...
Atas dasar apa ya? 😅
Kalau kemunkarannya bersifat politik tidak perlu dicegah, melainkan tungguin turun imam Mahdi dan Nabi Isa aja, sementara kalau kemunkarannya bersifat masalah individual seperti meninggalkan sholat maka perlu dicegah? 😅
Kalau mau konsisten, seharusnya nggak usah ngajak orang sholat juga, tungguin aja imam Mahdi yang ngajak orang-orang pada sholat, hehehe.. 😅
Atau, seharusnya kemungkaran apapun yah tetap kudu diubah.
- Baik itu pelanggaran syariat habluminallah (seperti sholat),
- syariat hablumminannafs (seperti berpakaian dan makan),
- juga syariat hablumminannas (seperti jual-beli, hubungan pria-wanita, APBN negara, kriminalitas, politik, dll). 🙂
Dan sekiranya kita perhatikan pula nash-nash perintah berdakwah, maka tidak ada pengecualian kemungkaran apa yang tidak perlu dicegah.
Misalnya pada hadits "Man ra'a minkum munkaran", ini menunjukkan umum. "Man" itu siapa saja, dan "munkaran" di situ isim nakirah yang maknanya umum yah kemungkaran apa saja. 🙂
Maka dari itu, bila terjadi banyak kemunkaran seperti misalnya masalah kriminalitas, penjajahan, pajak, riba yang tersistem besar, pembantaian umat muslim, dan berbagai macam masalah besar lainnya; kita tetap harus berusaha mengatasinya.عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِDari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.”
[HR. Muslim]
Tentunya sesuai kapasitas dan kemampuan kita. Bisa dengan berbagai cara, tergantung faktanya seperti apa.
- Bisa langsung menegur pelaku kemunkaran
- Atau melalui perantara
- Atau menghubungi pihak yang berwenang
- Aksi turun ke jalan
- Menulis artikel
- Membicarakanya saat khutbah jum'at
- Mengadakan seminar untuk membicarakannya
- Menyinggungnya pada saat ngisi di tabligh akbar
- Menyinggungnya pada saat mengajar di Sekolah atau Kampus
- Diskusi santai dengan orang saat nongkrong
- Membuat desain poster, kemudian di-post di socmed seperti instagram dan facebook
- Bila Anda memiliki kekuasaan, bisa 'bermain' di kebijakan dan instruksi
- Dan lain-lain..
CMIIW, wallahu a'lam...
#YukNgaji: www.bit.ly/yukngaji
Semua Kepala Negara Itu Boleh Diapresiasi dan Boleh Juga Dikritik, Tidak Bisa Ada yang Anti-Kritik
Sumber ilustrasi: Pixabay.com |
Betapa 'kelihatan' bahwa para pedukung tersebut baper cinta buta pada penguasa, benci buta pada pengkritiknya. Mereka tidak peduli dengan argumentasi yang mendasari kritik tersebut, meskipun argumentasi tersebut kuat.
Aneh kan? Iya aneh. Namun, bukan sekadar itu hal yang ingin saya bahas di sini.
Namun, mohon maaf, ternyata kebaperan tersebut bukan hanya terjangkit pada pendukung Pak Jokowi dan Pak Ahok. Tapi, juga ada pada sebagian dari para pedukung Presiden Erdogan dan pedukung Raja Salman.
Betapa bapernya, para pendukung tersebut seperti tidak mengizinkan ada seorang pun yang mengkritik mereka. Sekalipun kritiknya proporsional, berbasis data, dengan sudut pandang berbasis hujjah syar'i yang shahih; mereka malah tidak menerima.
Padahal, ngefans banget dengan Pak Jokowi yah boleh saja, mengkritik beliau pun juga boleh saja. Yang tidak boleh itu cinta buta, walau beliau melakukan kedzaliman pun masak di-ridhai? Dan tidak boleh pula benci buta, sampai fisik badannya pun diejek-ejek.
Terlebih lagi sebagai seorang muslim, standar penilaian kita harus syariat Islam.
- Kalau memang Pak Jokowi melakukan hal ma'ruf, yah alhamdulillah.
- Sebaliknya, bila beliau melakukan kemungkaran, yah tidak boleh ridha!
Sebenarnya itu adalah hal yang biasa...
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.”
[HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim]
«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.”
[HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, an-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya]
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.”
[HR. Hakim, dan Thabrani]
Ketika Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu- berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.”
Walau Kita Bukan Orang Aceh, Jakarta, Aleppo, Dll; Kita Tetap Wajib Peduli Masalah di Sana Selama Itu Persoalan Kaum Muslimin!
Kadang ada kaum nyinyiriyyun, yang senang banget nyinyir bila seseorang khususnya muslim yang menunjukkan kepeduliannya pada persoalan di luar wilayahnya. Seperti misalnya:
- Peduli persoalan Pilgub DKI Jakarta
- Peduli kekacauan di Suriah
- Peduli kekacauan di Burma
- Peduli kekacauan di Palestin
- Dan sebagainya...
Katanya:
- "Padahal KTP Bogor, bukan DKI, ngapain ngomongin pilgub DKI?!"
- "Ngapain sibuk ngurus orang Suriah dan Palestin, wong di Indonesia saja masih banyak yang susah!"
- Dan sebagainya..
Pernahkah Anda menemui orang nyinyir seperti itu? Atau bahkan sering?
Sebenarnya mereka nggak konsisten juga. Ternyata di lain waktu mereka juga sibuk membicarakan Donald Trumph yang terpilih jadi presiden AS, padahal kan itu persoalan luar wilayahnya, hehehe.. Yah, namanya juga tukang nyinyir. Apapun dijadikan alasan untuk nyinyir ke pihak yang dibencinya.
Sebenarnya mereka nggak konsisten juga. Ternyata di lain waktu mereka juga sibuk membicarakan Donald Trumph yang terpilih jadi presiden AS, padahal kan itu persoalan luar wilayahnya, hehehe.. Yah, namanya juga tukang nyinyir. Apapun dijadikan alasan untuk nyinyir ke pihak yang dibencinya.
Tapi, emang, sebetulnya kenapa kita harus ikut peduli dengan persoalan-persoalan di luar wilayah kita? Tidak lain dan tidak bukan, yah karena itu wajib hukumnya. Kalau kita tidak peduli dengan urusan umat, justru haram.
Bukankah telah sampai kepada kita hadits berikut ini? Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Siapa yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari sebuah kesulitan di antara berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan salah satu kesulitan di antara berbagai kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan baginya jalan ke surga. Tidaklah sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah (maksudnya masjid, pen) dalam rangka membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi para malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk yang ada di sisiNya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.”
[HR. Muslim, At Tirmidzi]
Selain itu, ada juga sebuah riwayat yang cukup patut dijadikan peringatan bahkan ancaman bagi kita. Riwayat ini dikeluarkan oleh Imam Al Hakim dalam kitab Al-Mustadrak-nya. Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من أصبح و الدنيا أكبر همه فليس من الله في شيء و من لم يتق الله فليس من الله في شيء و من لم يهتم للمسلمين عامة فليس منهم
“Barang siapa yang pada pagi harinya hasrat dunianya lebih besar maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak takut kepada Allah maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka.”
Yah, begitulah. Sejatinya, selama suatu persoalan itu merupakan urusan kaum muslim, kita wajib peduli. Meski tentu saja usaha kita sesuai dengan segenap daya upaya kapasitas kita.
- Bila kita bisanya menyedekahkan harta, yah bantulah dengan sedekah harta
- Bila kita bisanya menyumbangkan ide, yah utarakanlah ide
- Bila kita bisanya berdakwah membentuk opini umum, yah berdakwahlah membentuk opini umum
- Bila misalnya kita di TKP Suriah atau Palestin, bisa mengangkat senjata, yah berjihadlah mengangkat senjata
- Bila memang itu semua sangat sulit bagi kita, setidaknya carilah informasi untuk memastikan sudah ada sebagian orang yang sedang berporses hampir berhasil mengatasinya
- Bila kita hanya bisa like, komen, dan share di social media; yah silahkan
- Dan sebagainya...
- Bila bisa melakukan lebih dari satu hal, yah lebih bagus lagi
- Setidaknya, bantulah dengan do'a. Kalau do'a saja pun tidak mau, maka patut dipertanyakan ukhuwah islamiyyah-nya
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”
[QS. At-Taghabun: 16]
- Dia terjangkit penyakit 4S. Senang lihat orang Susah, Susah lihat orang Senang. Khususnya, kepada kaum muslimin.
- Dia terjangkit penyakit ego nasionalisme. Jadi menurutnya yang patut dibela hanya yang sebangsa saja. Di luar bangsanya, maka dia tidak terlalu peduli, meski seaqidah Islam.
- Sejatinya dia perlu memperbaharui imannya. Sebenarnya memang soal iman saja. Kalau iman sudah lemah, atau rusak, atau bahkan tiada; yah gitu jadinya suka nyinyir pada saudara muslimnya sendiri.
- Dia merupakan orang munafik yang notabene bagian dari timnya musuh-musuh Islam. Jadi, memang tugasnya adalah menghalang-halangi agenda perjuangan umat muslim.
Wallahua'lam bishshawab...
Langganan:
Postingan
(
Atom
)